Kearifan Lokal “Loma atau Huma” Sebagai Penopang Ekonomi Masyarakat Wakatobi Sebuah Kajian Sabuk (Sulepe) Ekonomi
By : Lakbolontio
Wakatobi adalah gugusan kepulauan yang terletak di sebelah tenggara Sulawesi dimana keberadaannya terdiri dari empat pulau utama, yaitu Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko, akronim dari keempat pulau besar Wakatobi disingkat dengan nama WAKATOBI dan mashur dikenal sebagai salah satu surga terumbu karang di Indonesia.
Selain keindahan bawah lautnya yang menakjubkan, Wakatobi juga memiliki kekayaan budaya yang unik, salah satunya adalah keberadaan Loma atau Huma.
Loma atau Huma adalah rumah temporer yang dibangun di atas karang atol di Wakatobi. Tempat ini digunakan oleh para nelayan untuk istirahat dan mengolah hasil tangkapan mereka, terutama ikan kering.
Alat tangkap yang paling umum digunakan dalam budaya Loma atau Huma adalah bubu bambu, yang ditempatkan di sekitar Loma untuk menangkap ikan. Namun, Loma atau Huma bukan hanya sekadar tempat istirahat atau pengolahan ikan kering. Lebih dari itu, Loma atau Huma merupakan cerminan dari kebudayaan dan konservasi alam yang berjalan paralel di Wakatobi.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Loma atau Huma dibangun dengan bertiang kayu yang tinggi, sehingga dasar laut di bawahnya tetap menjadi ruang hidup bagi biota laut, dan sirkulasi air normal. Dengan demikian, pembangunan Loma atau Huma tidak merusak lingkungan laut di sekitarnya.
Lokal wisdom yang yang menjadi aturan tidak tertulis adalah aturan-aturan adat yang harus diikuti oleh siapa saja yang ingin menggunakan Loma atau Huma sebagai tempat berlindung atau pengolahan ikan kering.
Misalnya, kita tidak boleh naik ke Loma atau Huma jika pemiliknya tidak berada di sana. Kita juga harus menunggu dan meminta izin kepada pemilik sebelum memanfaatkan Loma atau Huma.
Selain itu, semua barang tajam harus dinaikkan lebih dulu ke Loma atau Huma sebelum kita naik ke atasnya, sebagai tanda bahwa kita bermaksud baik dan tidak berniat merusak atau mengambil sesuatu yang tidak seharusnya.
Begitu pula dengan bekal makanan yang kita bawa, harus dibagi dengan pemilik Loma atau Huma sebagai bentuk saling berbagi.
Menurut sejarah, kebudayaan Loma atau Huma ini sudah ada sejak zaman nenek moyang masyarakat Wakatobi. Mereka mengenal budaya Loma sebagai bagian dari cara hidup mereka yang mengandalkan hasil laut sebagai mata pencaharian utama. Selain ikan kering, mereka juga mengolah hasil laut lainnya seperti kerang, cumi-cumi, dan udang.
Loma atau Huma yang terdapat di sekitar Atol Wakatobi, terbuat dari bambu dan kayu sebagai bahan utama. Konstruksinya dibangun di atas karang dan diberi tiang-tiang kayu yang tinggi.
Hal ini dilakukan agar dasar laut di bawahnya tetap menjadi ruang hidup bagi biota laut seperti padang lamun dan sirkulasi air laut yang normal. Selain itu, tiang kayu yang tinggi juga berfungsi sebagai perlindungan dari gelombang laut yang bisa mempengaruhi kestabilan huma atau loma.
Pada awalnya, loma atau huma dibuat sebagai tempat singgah sementara bagi nelayan dan pengolah ikan kering saat mereka berada di laut.
Namun, seiring berjalannya waktu, loma atau huma juga berfungsi sebagai tempat berkumpul dan bersosialisasi antara sesama nelayan dan pengolah ikan kering.
Kehadiran loma atau huma juga memberikan rasa aman dan nyaman bagi mereka yang sedang berada di tengah laut, terutama saat cuaca buruk atau gelombang laut yang cukup tinggi.
Setiap loma atau huma biasanya dimiliki oleh satu keluarga atau beberapa keluarga yang saling terkait. Pemilik loma atau huma juga memiliki aturan-aturan yang harus diikuti oleh pengunjung yang datang ke tempat mereka.
Di dalam loma atau huma, terdapat beberapa alat dan perlengkapan yang digunakan untuk mengolah ikan kering. Salah satunya adalah bubu bambu yang digunakan untuk menangkap ikan secara tradisional.
Setelah ikan ditangkap, mereka kemudian dikeringkan di atas kayu atau bambu yang disusun rapi. Proses pengeringan ikan ini memerlukan waktu yang cukup lama, tergantung pada kondisi cuaca dan kelembapan udara di sekitar loma atau huma.
Selain mengolah ikan kering, keberadaan loma atau huma juga memberikan manfaat bagi konservasi alam di sekitar Atol Wakatobi.
Dengan menggunakan bubu bambu sebagai alat tangkap ikan, nelayan di Wakatobi dapat mengurangi dampak penangkapan ikan yang berlebihan terhadap ekosistem laut di sekitar mereka.
Di sekitar Wakatobi, kegiatan pengolahan ikan kering merupakan salah satu mata pencaharian utama masyarakat. Ikan kering yang dihasilkan kemudian dijual ke berbagai daerah di Indonesia dan bahkan diekspor ke luar negeri. Selain itu, kegiatan memancing juga menjadi kegiatan yang populer di sana.
Namun, kegiatan memancing di Wakatobi tidak sembarangan dilakukan. Sebagai kawasan konservasi laut yang dilindungi, terdapat beberapa aturan yang harus dipatuhi oleh para nelayan dan wisatawan yang melakukan kegiatan memancing di sana.
Salah satu aturan yang harus dipatuhi adalah tidak memancing di area-area yang dilarang, seperti area-area perlindungan karang dan padang lamun.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Balai Besar Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (BBPSPL) Kendari, keberadaan kultur loma atau huma di Wakatobi mampu meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga lingkungan laut.
Ini dikarenakan kultur loma atau huma mengajarkan nilai-nilai konservasi lingkungan yang sejalan dengan kearifan lokal masyarakat Wakatobi.
Namun, keberadaan kultur loma atau huma juga menghadapi beberapa tantangan. Salah satunya adalah perubahan iklim yang dapat berdampak pada ekosistem laut di sekitar Wakatobi.
Perubahan iklim dapat menyebabkan perubahan suhu air dan arus laut, yang dapat berdampak pada keanekaragaman hayati di laut. Selain itu, meningkatnya intensitas kegiatan manusia di sekitar Wakatobi juga dapat berdampak pada keseimbangan ekosistem laut di sana.
Untuk itu, diperlukan upaya-upaya untuk menjaga keberadaan kultur loma atau huma di sekitar Wakatobi, serta mengatasi berbagai tantangan yang dihadapinya.
Upaya-upaya tersebut dapat dilakukan melalui berbagai program konservasi laut, seperti kampanye kesadaran lingkungan, pengembangan teknologi ramah lingkungan, dan pengelolaan sumber daya laut yang berkelanjutan.
Sebagai sebuah kearifan lokal yang telah bertahan selama bertahun-tahun, kultur loma atau huma merupakan warisan budaya yang harus dijaga karena loma atau huma juga merupakan tempat yang penting untuk menjaga keberlanjutan sumber daya ikan di Wakatobi. Sebagai rumah singgah pengolahan ikan kering, loma menjadi pusat kegiatan ekonomi dan sosial masyarakat nelayan di daerah ini. Ikan yang ditangkap oleh para nelayan akan diolah menjadi ikan kering yang siap dijual ke pasar lokal.
Kegiatan pengolahan ikan kering di loma juga menghasilkan limbah yang tidak dapat diuraikan oleh lingkungan, sehingga perlu dikelola dengan baik untuk menjaga kebersihan lingkungan sekitar.
Untuk menjaga keberlangsungan loma atau huma sebagai rumah singgah pengolahan ikan kering di Wakatobi, perlu dilakukan upaya pelestarian dan pengembangan budaya lokal.
Pemerintah dan masyarakat setempat dapat berkolaborasi untuk mempromosikan dan memperkenalkan kebudayaan loma atau huma ke masyarakat luas.
Dengan demikian, diharapkan masyarakat dapat lebih memahami dan menghargai keberadaan loma atau huma dan berkontribusi dalam menjaga keberlangsungan sumber daya ikan dan lingkungan di Wakatobi.
Selain itu, perlu dilakukan upaya untuk mengatasi tantangan yang dihadapi oleh loma atau huma. Pemerintah dapat mengembangkan program dan kebijakan yang berfokus pada pelestarian lingkungan laut dan karang di sekitar Wakatobi. Masyarakat nelayan juga dapat berperan aktif dalam menjaga kebersihan lingkungan dan sumber daya ikan yang ada di sekitar loma atau huma.(***)