Catatan : Bardin, Siompu Buton Selatan
Sabtu, 20 September 2025, saya mendapat undangan langsung dari sahabat untuk menghadiri pesta adat yang dikenal dengan nama Meta’Ua. Sebuah pesta adat yang rutin setiap tahun digelar sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil panen masyarakat adat Binawakili (Biwinapada Wakinamboro dan Tongali)
Rasa penasaran dengan Pulau Siompu, maklum meskipun saya kerap liputan di beberapa lokasi di pulau Buton, namun untuk Pulau Siompu ini untuk pertama kalinya. Ingin rasanya menyaksikan lebih dekat pulau yang dulu dikenal dengan penghasil Jeruk yang termanis di dunia ini.
Pukul 11.00 Wita, saya bersama beberapa rekan sepakat menuju kesana, namun kami harus menuju Batauga, sekitar 20 menit perjalanan dari Kota Baubau. Setelah itu kami akan menggunakan speed boat menyeberang dari Batauga ke pulau Siompu.
Sejenak saya menoleh kepesisir pantai dimana speed boat ditambatkan. Dulu, saya pernah bolak balik ke Batauga untuk mengikuti teman teman mengambil pasir hitam disana. Sedikit miris menyaksikan kondisi pesisir pantai yang dulu masih rimbun dengan deretan pohon kelapa. Namun, kini abrasi semakin luas akibat aktivitas penambangan pasir yang tak terkendali.
Namun, itu hanya sebatas pemantauan singkat, tapi tujuan saya adalah Pulau Siompu. Tak sabar ingin segera ke pulau Indah itu.
Setelah menanti beberapa menit, saya dan 4 rekan dan beberapa warga yang juga menuju Pulau Siompu diperkenankan naik ke sebuah speed boat. Tarifnya dengar dengar sekali menyeberang 80 ribu hingga 100 ribu rupiah. Artinya jika jumlah penumpang 10 orang, akan dikenakan 10 ribu per orang.
Suasananya sangat menyenangkan, para pengemudi spedd boat Batauga Siompu sangat ramah dan humble menyambut kami dan penumpang lainnya.
Sekitar 30 menit penyeberangan kami tempuh, tibalah di desa Karae namanya. Sebuah desa pesisir yang indah. Tak jauh dari tambatan speed boat tertulis gerbang kelurahan Lapara siompu. Kami dijemput dengan menggunakan kendaraan roda empat. O ya, di siompu masyarakat menggunakan angkutan ojek dan mobil rental. Maklum tidak ada jalan utama seperti di Kota Baubau.
Perjalanan kami menanjak menuju lokasi kegiatan Pesta adat Meta’ua di desa Nggula Nggula namanya. Disana sudah ramai warga yang memadati baruga. Sayang sekali kami tiba setelah acara makan bersama di Baruga hampir berakhir. Jadi, saya pun tidak sempat mengambil momen penting di baruga. Termasuk kegiatan tari kolosal oleh remaja putri siompu dengan pakaian adat yang menarik.
Rasa penasaran saya menyaksikan kondisi masyarakat yang sangat santun menyambut para tamu. Ternyata inilah sebuah keunikan di Pulau Siompu selain potensi alam dan hasil buminya. Yaitu, warganya yang terbuka menyambut kedatangan setiap tamu yang datang dari daerah lain. Ada nilai kearifan yang tertanam dipulau ini. Nilai filosofi dan tradisi yang kental. Mereka menjunjung tinggi persaudaraan.
Saya sempat berbincang dengan Ketua Adat Binawakili Pomili Womal yang mengatakan bahwa pelaksanaan pesta adat Meta’uA ini adalah manisfestasi dari semangat kebersamaan untuk merawat tradisi masa lalu. Pesta adat Metau’A ini satu diantara banyak kearifan lokal di Siompu yang masih sangat kental. Mereka memiliki lembaga adat yang tetap merawat sejarah peradaban.
Meski hanya sepintas kami menyaksikan suasana makan bersama di Baruga Binawakili, namun terbersit dalam pikiran saya bahwa inilah wajah peradaban Negeri Buton. Suasananya hampir sama dengan aktivitas di pusat Kesultanan Buton. Duduk bersila dan makan bersama dan menikmati suguhan dari talang yang berisi makanan tradisional Buton. Sungguh pemandangan yang bercerita bahwa inilah kami, dengan kekayaan warisan budaya yang tak pernah lapuk.
Usai shalat Zuhur, rangkaian kegiatan kembali dilanjutkan. Lokasinya masih di kawasan Baruga Binawakili. Agendanya adalah atraksi Tari Fomani. Tampaknya acara ini juga menjadi bagian yang paling dinantikan oleh masyarakat. maklum, dilaksanakan sekali setahun. Dalam atraksi tari Fomani ini saya menyaksikan banyak ornament sejarah. Ada dua kelompok dengan perangai yang berwibawa. Seolah siap menghadapi kondisi genting untuk melindungi negeri. Ada yang yang menafsirkan suasana penyambutan tamu oleh prajurit.
Semua menjadi pemandangan menarik. Saya tidak terlalu memahami maknanya yang mendalam. Mungkin suatu saat akan kesana lagi untuk menggali cerita dan latar belakang dari Pesta adat ini. Karena pasti memiliki makna filosofis seperti di lembaga adat di 72 kadie kesultanan Buton.
Saat itu, Bupati Buton Selatan H Muhammad Adios juga tetap setia menyaksikan proses pesta adat Meta’ua hingga Fomani di sore hari. Namun tak sampai tuntas karena harus mengikuti agenda lainnya. Sebelum neinggalkan lokasi, saya sempat berbincang dengan pak Bupati.
“saya terharu menyaksikan sambutan masyarakat siompu di acara adat ini. Ini menandakan bahwa disini tercipta kedamaian dan ini adalah kekuatan besar. Semoga tak ada lagi perselisihan di tengah masyarakat karena kita memiliki adat dan tradisi yang kental,” sekilas itu yang disampaikan Bupati Adios kepada saya saat meminta pendapatnya tentang acara ini.
Satu lagi pemandanga menarik yangsaya saksikan, ditengah atraksi Tari Fomani, ada beberapa orang tua dan anak balita yang memasuki arena dengan membawa serta beberapa lembar uang puluhan dan seratusan ribu rupiah. Rupanya ini ada makna yang diyakini. Bahwa uang itu disiapkan orang tua secara sukarela dengan maksud dan keyakinan agar anak anak mereka terhindar dari penyakit dan masalah pertumbuhan. Mirip dengan makna ‘pedhole dhole’ untuk anak balita di Kesultanan Buton. Istilah modernnya adalah imunisasi tapi dalam balutan tradisi lokal. Ini adalah sebuah ‘Nazar’ dari orang tua untuk kebaikan anak anaknya.
Hari menjelang sore, namun atraksi belum berakhir tapi sayang sekali kami harus kembali ke Kota Baubau. Kata teman saya, prosesinya belum berakhir sebelum Ketua Adat (Parabela) masuk ke lapangan dan menandai akhir atraksi. Tapi baiklah, semoga di momen tahun berikutnya saya akan kembali hadir di Pulau Indah Siompu untuk mengikuti proses pesta adat ini lebih lama.
Salam hangat untuk masyarakat dan para tokoh adat di Siompu khususnya masyarakat adat Binawakili. Masyarakat yang santun dan menjunjungi tinggi nilai kebersamaan. Mereka mampu merawat tradisi yang menjadi warisan leluhur untuk dimaknai oleh generasi masa depan….*****