Oleh: Ade Erdin,
Tokoh Masyarakat (Ketua Majelis Al-Hijrah Kota Baubau, dan Sekretaris Forum Ikatan Persaudaraan Penyandang Disabilitas Kota Baubau)
Beberapa hari lalu, saya berpapasan dengan salah seorang tim sukses dari salah satu paslon dalam Pilkada Kota Baubau. Kebetulan kami saling mengenal. Di awal perjumpaan, dia segera menanyakan paslon nomor berapa yang saya dukung. Untuk menghindari menjawab langsung pertanyaan tersebut, saya lantas balik bertanya dengan pertanyaan yang serupa.
Mendengar pertanyaan saya itu, dengan begitu antusias dia menjelaskan panjang lebar perihal kelebihan Paslon yang dia dukung. Secara garis besar, dia beranggapan bahwa Cakada yang ia dukung adalah sosok yang religius, karena suka bersedekah melalui agenda jum’at berkah. Kemudian, suka membantu dana pembangunan masjid-masjid di dalam maupun di luar kota. Hal lainnya dibuktikan dengan dukungan dari partai-partai dengan background Islami, imbuhnya.
Dari penjelasannya di atas, saya menggarisbawahi frasa ‘sosok religius’. Ada begitu banyak pertanyaan dibalik frasa tersebut, jika kita kaitkan dengan konteks realitas sekarang ini. Apakah religiusitas seseorang dapat diukur dari seberapa banyak ia bersedekah? Atau apakah seseorang yang suka bersedekah bisa dikategorikan sebagai seorang yang religius? Apakah amalan sedekah merupakan salah satu tolak ukur kepemimpinan dalam Islam? Ataukah seorang pemimpin daerah bisa dikatakan religius ketika menjadi seorang yang dermawan? Kapan waktu yang baik untuk bersedekah agar bisa dikatakan religius? Metode sedekah seperti apa yang dilakukan agar menjadi sosok religius, secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi? Dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan lainnya yang membuat saya pada akhirnya melakukan observasi dan riset mandiri tentang hal ini.
Dalam teori ilmu jiwa agama dan psikologi Islam, seseorang bisa dikatakan religius jika nilai-nilai agama yang dianut sesuai dengan perilakunya. Sedangkan dalam teori filsafat Islam, akar dari karakter religius dan kemunafikan yaitu kesesuaian antara kata dan tindakan. Jika sesuai antara kata dan tindakan maka bisa diasumsikan bahwa seseorang tersebut cenderung religius, hal ini bisa dibuktikan dengan gelar pertama yang disematkan orang lain kepada Nabi Muhammad saw., adalah al-amin yang artinya dapat dipercaya. Namun, ketika kata dan tindakan tidak sesuai, maka seseorang tersebut dapat dikategorikan sebagai seorang yang munafik. Jadi, jika salah dalam menilai, kita bisa terkecoh oleh salah satunya. Religius atau munafik.
Maka, untuk menilai para paslon dengan karakter religius yang sebenarnya, agama harus dipahami sebagai nilai-nilai dan spirit religiusitas bukan sebagai simbol atau identitas politik. Dari hasil observasi mandiri yang telah dilakukan, saya mendapati bahwa Cawakot yang unggul dalam karakter religius adalah Cawakot nomor satu, yakni Bapak La Ode Ahmad Monianse.
Beliau sangat ramah, cerdas, berkredibilitas, lemah lembut dalam berbicara namun tegas dalam mengambil keputusan, dan yang paling membedakan dengan Cawakot lainnya adalah beliau sosok yang sangat mudah untuk dijumpai, begitu dekat dengan masyarakat, juga sangat memanusiakan manusia dari golongan maupun komunitas apapun.
Hal ini dilakukan bukan saat ini saja, tapi sejak lama. Tidak heran, jika sampai hari ini orang-orang yang berjuang bersama beliau sejak 10-15 tahun lalu masih tetap berdiri disisi beliau, dan tidak pernah berkhianat terhadap beliau. Indikator-indikator ini sangat sesuai dalam teori kepemimpinan Islam, dimana seorang pemimpin harus memiliki sifat-sifat dasar seperti siddiq (jujur), tabligh (menyampaikan), fathanah (cerdas), dan amanah (dapat dipercaya). Seorang pemimpin dalam Islam pun harus memiliki pengikut-pengikut yang loyal dan berdedikasi serta jujur tanpa tendensi negatif. Agar dapat menjalankan roda pemerintahan dengan baik yang sesuai dengan nilai-nilai Islami.
Bapak La Ode Ahmad Monianse juga sangat aktif dan peduli terhadap kegiatan-kegiatan keagamaan dan kebudayaan. Menurut beberapa narasumber, beliau tidak jarang terlihat di pengajian yang diadakan oleh Ust. Lalu Suharja Hambali. Pak Moni juga merupakan ketua LPTQ (Lembaga Pengembangan Tilawatil Qur’an) Kota Baubau. Belakangan ini terungkap bahwa beliau banyak membantu materi orang-orang secara pribadi dan masih banyak bukti-bukti lainnya yang menguatkan karakter religius yang melekat pada diri beliau.
Mengapa karakter religius yang dimiliki seorang calon kepala daerah penting untuk diketahui pada kontestasi Pilkada Kota Baubau? Hal ini disebabkan oleh latar belakang Kota Baubau sebagai pusat Kesultanan Buton yang masih eksis hingga kini. Sebuah negeri yang dijuluki sebagai negeri khalifatul khamis (khalifah kelima) dengan maksud filosofis sebagai penerus dari kebijakan-kebijakan Khulafaur Rasyidin. Negeri yang penuh dengan irisan budaya dan agama yang begitu kental, dan hanya bisa dipahami oleh masyarakat lokal dengan karakter religius yang dominan.
Jadi, alangkah sungguh sangat disayangkan jika Kota Baubau kedepannya dipimpin oleh orang-orang yang tidak memahami nilai-nilai dan budaya dari negeri ini, sebagaimana hadits Nabi saw., “idza wusidal amru ila ghairi ahlihi fantandziri sa’ah” (jika suatu urusan diserahkan bukan pada ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya). Jangan pernah terkecoh oleh mereka yang hanya menghiasi diri dengan agama untuk kepentingan pribadi semata, karena kita sebagai masyarakat Baubau yang bermartabat, pantas mendapatkan pemimpin yang terbaik.***